Senin, 02 Mei 2011

Pilkada Langsung Dalam Bingkai Otonomi Daerah




Disusun Oleh :
        Intan Kamelia Mohtar
                  (09221027)



Dosen pembimbing:
Nurchaeriyah Gumayni


JURUSAN TADRIS MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2011



BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang

Hubungan antara pemerintahan (state) dengan warga negara/rakyat (society) selalu berada dalam bingkai interaksi politik diantara keduanya dalam wujud organisasi negara. Hubungan state and society ini dapat tergambarkan dalam icon yang diberi label demokrasi. Sejak lama, sebagai gambaran besar, demokrasi  menjadi cara terbaik dalam perkembangan organisasi negara modern. Demokrasi yang dimaksud merupakan instrumen universal, namun juga memiliki karakteristik ideografis dalam hal-hal tertentu. Misalnya kita akan menemukan adanya demokrasi liberalis, demokrasi sosialis dan bahkan demokrasi Pancasila. Sementara dalam hirarkhi suatu negara jangkauan pengaruh, kita bisa merujuk pada dua jenis atau kelompok demokrasi, yaitu demokrasi dalam lingkup negara dan demokrasi lokal.

B.                 Rumusan Masalah

Makalah yang penulis sajikan ini merupakan kajian singkat tentang apa dan bagaimana peran otonomi daerah dan demokrasi lokal dalam pemilihan kepala daerah secara langsung ?

C.                Tujuan

Tulisan ini bermaksud mendeskripsikan demokrasi dalam tataran lokal pada ranah ideografis Indonesia dengan memfokuskan diri pada fenomena pemilihan kepala daerah secara langsung dalam bingkai otonomi daerah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.                Otonomi Daerah di Indonesia

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.                  Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2.                  Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan[1].

Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan :
1.                  Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2.                  Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3.                  Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1.                  Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2.                  Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3.                  Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju[2]

 

Aturan Perundang-undangan

Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
1.                  Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
2.                  Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
3.                  Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
4.                  Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5.                  Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
6.                  Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7.                  Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

 

Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru

Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.
Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[3]
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1.                  Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2.                  Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
3.                  Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti :
a)         Mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945;
b)         Menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c)         Bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan
d)         memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.[4]

 

Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru

Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:
1.                  melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2.                  pembentukan negara federal; atau
3.                  membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1.                  Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2.                  Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3.                  Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4.                  Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5.                  Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6.                  Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7.                  Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
8.                  Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
9.                  Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
10.              Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
11.              Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
12.              Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
13.              Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
14.              Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.[5]

B.                 Demokrasi Lokal

Demokrasi sebagai aspek penting berkaitan dengan pemerintahan dengan hirarkhi kekuasaan yang terdapat dalam suatu sistem politik negara. Artinya, akan terdapat sistem politik nasional yang didalamnya terdapat sub sistem politik daerah dalam bingkai sistem negara yang dianutnya. Pemilihan demokrasi lokal ini bukan berarti terdapat determinasi wilayah pemberlakuan demokrasi atau bahkan terdapat perbedaan demokrasi dari induknya. Dalam hal ini demokrasi lokal ditujukan sebagai bagian utuh dari demokrasi di Indonesia dalam pelaksanaan rekrutmen elit politik di pemerintahan daerah.
Demokrasi lokal merupakan bagian dari subsistem politik suatu negara yang derajat pengaruhnya berada dalam koridor pemerintahan daerah. Di Indonesia Demokrasi lokal merupakan subsistem dari demokrasi yang memberikan peluang bagi pemerintahan daerah dalam mengembangkan kehidupan hubungan pemerintahan daerah dengan rakyat di lingkungannya.
Semenjak era reformasi, demokrasi yang diusung mengarah pada demokrasi partisipatif atau langsung, salah satunya karena banyak pejabat politik yang tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik, sehingga legitimasi mereka lemah. Di sisi lain memunculkan ketidak percayaan rakyat pada penguasa mendorong rekrutmen pejabat politik ke arah demokrasi langsung. Sehingga tidak mengherankan bila rekrutmen hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam format demokrasi yang bergerak pada hubungan state and society secara langsung. Mulai dari pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD.[6] Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Pada fase demokrasi langsung ini merupakan era baru reformasi politik di Indonesia yang pertama kali digelar sejak kemerdekaan Indonesia. Rekrutmen politik skala nasional ini merupakan perkembangan demokrasi yang mendapat pengakuan dunia karena keberhasilannya.
Sebagai tindak lanjut dari keberhasilan rekrutmen politik dalam tataran demokrasi ini, pada tahun 2005 ini akan juga melakukan proses rekrutmen politik elit daerah sebagai kelanjutan dari pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang telah melahirkan pasangan pemimpin politik berbasis legitimasi rakyat, yaitu Bapak Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla. Pemilihan Kepala daerah merupakan proses demokrasi yang akan menyetarakan legitimasinya dengan keberadaan DPRD yang telah dipilih secara langsung.
Demokrasi lokal dalam pemilihan kepala daerah, menjadi momentum yang masih memberikan pertanyaan besar dalam pelaksanaannya. Pertanyaan ini berkaitan dengan demokrasi partisipatoris yang akan dilakukan. Betapa tidak, pemberian kedaulatan rakyat daerah pada elitnya masih diwarnai ketidakjelasan, baik dari prosedur kerja penyelenggara maupun peserta dan posisi pemilihnya.
Dari sisi kedaulatan rakyat daerah, demokrasi lokal dibangun untuk memberikan porsi yang seharusnya diperoleh rakyat lokal dalam pemberian legitimasi pada elit eksekutifnya. Selama ini rakyat daerah memberikan kedaulatan hanya pada legislatif daerah saja--melalui pemilu legislatif. Maka merujuk pada konsep trias politica-nya Montesquieu pemisahan kekuasaan atas tiga lembaga negara untuk konteks pemerintahan daerah terletak pada lembaga eksekutif dan legislatif daerah, sedangkan dalam kerangka yudikatif menginduk pada kelembagan pusat. Hal ini terkait dengan pola hubungan pemerintahan pusat daerah dalam asas desentralisasi. Kedaulatan rakyat dalam kerangka sistem pemerintahan dapat dibagi kedalam hirarkhi demokrasi nasional dan lokal dari tata cara rekrutmen politiknya
Ketidakpercayaan rakyat dan era reformasi mendorong adanya pilkada langsung. Hal ini tidak langsung berkatan dengan baik atau tidaknya demokrasi, karena di negara lain uga terdapat variasi pelaksanaan demokrasi baik yang langsung, perwakilan bahkan dengan appointment. Derajat kepentingannya adalah terpilihnya pejabat politik yang akuntabel sesuai dengan needs for achievment rakyatnya.[7]
Pelaksanaan demokrasi dapat dilakuakan dengan dua cara yaitu demokrasi langsung dan perwakilan dan secara hirarkhi negara terdapat demokrasi tingkat nasional dan lokal. Di Indonesia pada masa eforia politik di satu sisi dan ketidak percayaan rakyat pada elit politik menjadikan proses rekrutmen mengarah pada demokrasi langsung, termasuk pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan fenomena kenegaraan baru di Indonesia. Hal ini menyusul pemilihan elit eksekutif nasional yang juga dilakukan secara langsung. Pilkada langsung pertama kali akan dilakkan di 224 pemerintah daerah di Indonesia, sehinga segala hal yang melandasinya perlu dibahas dengan seksama. Dalam hal ini kita perlu memperhatikan hubungan negara dan rakyat dalam bingkai demokrasi lokal, asas desentralisasi dan proses kebijakan publik dan partisipasi politik rakyat daerah. Dari pelakasanaan komponen-komponen tadi   kita akan melihat beberapa buka ke depan bagaimana pesta demokrasi lokal di negara Indonesia akankah terjadi perkembangan reformasi politik lokal atau hanya an old one in a new bottle.

C.                Pilkada Langsung

Pemilu eksekutif daerah ini berada dalam koridor demokrasi lokal dalam lingkup asas pemerintahan—desentralisasi dan didasarkan pada rel kebijakan publik UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemilihan Kepala daerah langsung merupakan fenomena baru dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Sepanjang sejarah pemerintahan, baru sekarang ini akan dilaksanakan pilkada secara langsung yang selama tahun 2005 akan melibatkan 16 pemda Propinsi dan 118 pemda Kabupaten dan Kota di Seluruh Indonesia. Melihat begitu banyaknya pemerintah daerah yang akan melaksanakan pilkada tersebut, maka akan menjadi sangat penting bagi semua komponen yang terlibat dalam pelaksanaannya untuk memiliki persepsi yang sama, sehingga tahun 2005 ini bisa dijadikan tonggak demokrasi lokal di Indonesia. Akan sangat riskan ketika dalam pelaksanaan di 224 pemerintahan daerah itu terjadi konflik atau permasalahan yang akan merusak dan berakibat fatal pada sistem pemerintahan di Indonesia.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, kita dapat membahas adanya perkembangan demokrasi yang semakin dekat dengan konstituennya yaitu masyarakatnya. Secara umum ini merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi hubungan pemerintahan daerah dengan rakyatnya dalam hal penggunaan hak politiknya. Namun demikian secara lebih mendalam masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian serius.[8] Salah satu kekhawatiran itu munculnya usaha judicial review dari komponen masyarakat pada Mahkamah Konstitusi terhadap hal yang akan mengurangi kadar demokrasi yang dimaksudkan.
Hal lain yang masih menjadi pertanyaan adalah pelaksanaan pilkada langsung pada daerah-daerah dengan kebijakan publik yang khusus seperti di Nangru Aceh Darussalam (NAD) dan di Papua. Berkaitan dengan adanya pemerintah daerah yang memiliki undang-undang khusus, perlu diterjemahkan lebih lanjut dalam tataran kebijakan yang bersifat politis maupun aspek hukumnya.
Sebagai suatu sistem pemilihan partisipatif yang baru akan dilaksanakan di Indonesia ini, tentunya perlu diperhatikan keunggulan dan kelemahan dari produk kebijakan publik tentang pemilu dalam rekrutmen elit eksekutif lokal ini. Melalui format demokrasi yang sampai saat ini dianggap paling baik dalam memetakan hubungan negara dan rakyatnya baik dalam tataran politik nasional maupun lokal, dapat kita gambarkan keunggulan dan kelemahan pilkada langsung ini.
Keunggulan pilkada langsung ini bisa dilihat dari adanya legitimasi elit eksekutif lokal terpilih berkaitan dengan dukungan rakyat daerah kepadanya ynag sebanding dengan pemilu legislatif daerah yang menjadi satu paket dengan pemilihan DPR dan DPD. Jadi berdasaarkan aspek legitimasi, pilkada langsung merupkan salah satu keunggulan yang siginifikan. Berikutnya adalah berperannya rakyat daerah dalam menentukan langsung pilihannya, tidak mewakilkan pada DPRD seperti pada periode pemilihan kepala daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999. Secara umum pemberian hak politik dalam menentukan elit eksekutif lokal ini merupakan keunggulan dari UU pemerintahan daerah yang baru.
Membatasi terjadinya politik uang dikalangan elit pemerintahan daerah, yang pada waktu pilkada lalu bermuara pada penyelenggraannya, yaitu DPRD melalui kepanjangan tangan fraksi.[9] Jadi dimungkinkan melemahnya politik uang tentunya apabila dipenuhi syarat dalam pencalonan dan pemilihannya. Selain itu juga memberikan kesan lebih obyektif.[10] Rakyat pemilih juga sudah terbiasa dalam rekrutmen langsung kepala desa. Bahkan baru-baru ini di akhir tahun 2004, kita sudah berhasil dalam melakukan rekrutmen elit eksekutif nasional dalam pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung.
Sedangkan bila dibahas berdasarkan kemungkinan kelemahan yang akan terjadi, kita bisa mendeteksi adanya pengalihan money politics dari lembaga DPRD ke partai politik yang memiliki hak untuk mengajukan calon. Tidak menutup kemungkinan pula terjadinya money politics ini meluas pada komponen-komponen masyarakat lainnya.
Kastorius Sinaga (2003) menyatakan bahwa dalam kerangka sistem negara unitarian tidak dimungkinkan adanya negara dalam negara.  Artinya bingkai sistem pemerintahan daerah merupakan bagian dari atau subsistem dari sistem pemerintahan nasional. Secara hirarkhi,  pemerintah pusat merupakan atasan bagi pemerintahan daerah. Namun demikian akan terjadi tendensi kelemahan dalam peluang intervensi pemerintah pusat dalam pilkada langsung ini. Banyak kalangan akademisi dan LSM yang menengarai warna resentralisasi dalam pesta demokrasi lokal ini. LSM Cetro menyatakan  bahwa akan terjadi intevensi pemerintah pusat bila Peraturan Pemerintah sebagai amanat dari UU No. 32 tahun 2004 ini mengatur terlalu banyak KPUD sebagai penyelenggara pilkada langsung di satui sisi dan meniadakan sifat independen, mandiri dan nasional.
Bila dilihat dari sudut pandang penyelenggraan pilkada langsung ini, maka akan terdapat aktor-aktor yang terlibat baik sebagai penyelenggara, penanggung jawab, peserta dan pemilih (voter) yang berbeda ketika pilkada berada ditangan DPRD. Berdasarkan undang-undang yang baru tentang pemerintahan daerah, aktor penyelenggara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah. Dalam hal ini telah terjadi pemutusan sifat independen, mandiri  dan sifat nasionalnya. KPUD ini bertangung jawab pada DPRD. KPUD sebagai lembaga independen dan nasional diserahi tugas seperti penerimaan tugas otonom, hal ini menimbulkan pertanyaan dalam hubungan ketatanegaraan di Indonesia.
DPRD merupakan penanggung jawab Pilkada langsung karena pintu pertanggungjawaban penyelenggaraan berada ditangannya. Penganggaran dan pelaporan pelaksanaan pilkada langsung berada di DPRD. Sementara di lembaga ini terdapat fraksi yang pada dasarnya merupakan kepanjangan tangan dari partai politik  sesuai dengan jenjang hirarkhinya. Tentunya hal ini akan mengakibatkan adanya polarisasi DPRD sebagai lembaga penanggung jawab pilkada langsung di satu sisi dan sebagai kepanjangan partai politik yang melakukan penjaringan calon pasangan kepala daerah. Conflict of interest kemungkinan tidak bisa terhindarkan, dan bila terjadi tentu saja akan mengurangi kadar demokrasi lokal yang partisipatif yang baru mulai dibangun.
Aktor berikutnya adalah elit-elit partai politik dalam hirakhi lokal. Mereka ini merupakan partai politik yang memiliki 15 per sen kursi di DPRD. Parpol ini akan melakukan penjaringan calon pasangan kepala daerah, yang tentu saja memiliki kewenangan penuh untuk meloloskan atau tidak calon pasangan tadi. Hal ini dimungkinkan karena satu-satunya pintu bagi pencalonan pasangan kepala daerah hanya melalui mereka.
Aktor lain dalam pilkada yang sebenarnya merupakan pemegang kedaulatan poitik dalam aras lokal adalah rakyat pemilih. Hak Politik mereka akan sangat menentukan kemenanganan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Jumlah pemilih yang menggunakan haknya secara sah yang mencapai 25 % akan mengantarkan pasanagan calon menjadi elit eksekutif daerah. Lembaga eksekutif daerah juga berperan sebagai fasilitator dalam tahapan persiapan dan pelaksanaan pilkada langsung itu.
Aktor yang berada dalam bayang-bayang secara implisit memunculkan pengaruhnya adalah kelompok pemodal yang mempunyai kepentingan yang bersandar pada sosok pasangan calon yang akan terpilih. Apabila berdasarkan kasus-kasus pemilihan terdahulu yang berada dalam lingkup DPRD, mereka berada di balik dukungan melalui organ DPRD itu, namun untuk pilkada langsung ini, tentunya akan melalukan cara yang berbeda. Tujuan akhirnya menjadikan jagoannya terpilih dan pada gilirannya akan memberikan peluang bagi kepentingannya. Sinyalemen ini mulia berkembang karena dalam pilkada dengan sistem yang berbeda sudah sering terjadi, dimana suara DPRD sebagai wakil rakayat tersisihkan menjadi sekedar wakil kepentingan kaum pemodal ini. Tapi mudah- mudahan dalam pilkada langsung ini, pengaruh mereka tidak ada atau dapat dipersempit ruang geraknya. Perlu kesadaran tinggi sebagai warga negara yang baik, legislator yang baik dan elit partai politik yang baik pula untuk memeranginya.
Dalam pentahapan penyelenggraan pilkada langsung ini, dalam UU No 32 tahun 2004 merunut pada pentahapan pemilihan legislatiuf dan secara khusus pada pemilu presiden. Tahapan dimulai melalui berakhirnya masa jabatan kepala daerah, kemudian ke pendaftaran pemilih, pendaftaran calon peserta pilkada, kampanye dan pemungutan dan pengitungan suara, penetapan calon terpilih dan pelantikan calon terpilih sebagai pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di dalamnya termasuk sosialisasi tahapan-tahapan tadi, yang secara garis besar terbagi ke dalam dua tahapan yaitu tahapan persiapand ana tahapan pelaksanaan.
Derajat kepentingan tahapan ini tentunya berbeda-beda diantara aktor-aktor yang berkaitan dengan pilkada langsung ini, bagi pemilih sebagai warga negara yang baik maka tahap pendaftaran pemilih, partsispasi dalam kampanye, dan tahapan pemungutan suara menjadi tiga tahapan penting disamping peka terhadap sosialisasi yang dilakukan oleh fihak penyelenggara. Bagi KPUD tentunya semua tahapan menjadi penting berkaitan dengan tugas dan kewajiban dalam mensuksekan tugas ke tiganya dalam pilkada langsung ini. Bagi DPRD tentunya juga sangat memperhatikan fungsi sebagai penanggungjawab penyelenggaraan pilkada langsung ini terutama dalam penetapan anggaran, diferensiasi fungsi lembaga dan sebagai kepanjangan partai politik, juga dalam pemilihan panitia pengawas pemilu. Apabila semua aktor yang terlibat berperan sebagaimana fungsinya masing-masing dalam koridor kebijakan publik yang berlaku, maka diharapkan pilkada langsung yang akan dislenggarakan di setengah pemda propinsi dan di 108 pemda kabupaten dan kota di seluruh Indonesia pada tahun 2005 ini, akan menjadi tonggak sejarah perkembangan demokrasi lokal dan tentunya akan melenglkapi dua pemilu sebelumnya yang secara umum berhasil dengan baik. 

D.        Partisipasi Politik
      
Pilkada langsung yang akan diselenggrakan mulai tahun 2005 ini, tidak akan terlepas dari pentingnya partisipasi politik rakyat. Kalaupun tidak ada batasan yang jelas bahwa jumlah pemilih yang menggunakan haknya secara sah sebagai indikator keberhasilan pemilu tersebut, namun kita bisa melihat derajat partispasi politik sebagai respon atas pentingnya rekrutmen politik elit daerah.
Banyak batasan yang diberikan oleh ahli-ahli politik dalam literatur-literaturnya. Salah satu definisi Partisipasi politik yang berkaitan dengan pilkada langsung ini dapat dilihat dari pendapatnya Miriam Budiardjo (1994) yang menayatakan bahwa “Kegiatan individu atau kelompok secara aktif dalam kehidupan politik , memilih pimpinan negara dan terlibat dalam mempengaruhi kebijakan publik” sebagai batasan dari partisipasi politik.[11] Hal senada juga diungkapakan oleh Herbert McClosky yang dikutip oleh Budiardjo (1994) yang berkaitan dengan sifat sukarela dan proses pemilihan penguasa.
Keterlibatan secara sukarela dalam pilkada merupakan indikator positif atau negatifnya rakyat daerah sebagai warga yang mempunyai hak politik sebagai voter. Tentu saja rakyat sebagai waraga negara agar dapat berperan aktif dalam partisipasi politik perlu terpaan pendidikan politik dari berbagai agennya. Tanpa terpaan itu maka sukar untuk mendapatkan kadar partispasi politik yang baik dalam kerangka demokrasi.
Bentuk partispasi politik rakyat daerah dalam pilkada langsung ini dapat dilihat dari berbagai bentuknya, mulai dari sebagai orang atau kelompok yang apolitis, pengamat, maupun  partisipan Seperti pada dua pemilu yang lalu maka akan ada prosentasi rakyat yang apolitis dalam arti mereka yang  termasuk tak acuh dalam kegitand an proses politik. Di Indonesia,prosentase rakyat yang apolitis masih di bawah 30 % rata-rata. Sementara bentuk pengamat merupakan porsi yang paling banyak, yaitu mereka yang melakukan pengaruh dalam proses politik sebatas sebagai anggota organsisasi, hadir dalam kampanye, dan voter. Sementara dalam bentuk partisipan, diantaranya rakyat terlibat sebagai aktivis partai, dan kelompok kepentingan. Sebagai aktivis, pertisipasi politik rakyat sudah mengarah pada derajat menduduki jabatan-jabatan organisasi/ politik.
Sifat sukarela dan terlibat dalam rekrutmen politik serta mempengaruhi kebijakan publik merupakan warna proses politik yang dapat digambarkan dalam pemilu legisltaif adan pemilu presiden secara langsung pada tahun 2004 yang lalu. Hal yang sama juga dpat diprediksikan pada pilkda langsung tahun 2005 nanti. Kenapa ada statemn demikian ? hal ini tidak terlepas dari pengalaman praktis rakyat dalam pemilu langsung tahun 2004 tadi. Dengan tata cara dan tahapan yang relatif sama dengan pemilu presiden diperkirakan partisipasi politiknya juga tidak jauh berbeda. Namun demikian untuk menghindari antiklimaks dari partisipasi politik rtakyat daerah maka perlu media sosialisasi politik termasuk di dalamnya pendidikan politik yang memadai sehingga rakyat daerah akan merespon dalam bentuk pertisipasi politik yang memadai baik dari sudut pandang kualitas mapun kuantitasnya.
Peran partai politik sebagai penyandang fungsi sosialisasi, pendidikan, partisipasi dan rekrutmen politik merupakan media yang sangat efektif dalam memicu partisipasi politik rakyat daerah. Disamping itu, peran KPUD dalam sosialisasi tahapan pilkada langsung juga berpengaruh pada tingkat partisipasi politik dalamap pilkada langsung ini. Terpaan pendidikan politik dari berbagai agen dalam pilkada yang dilakukan dengan baik akan berdampak pada kontribusi partisipasi politik yang baik pula. Peran partai politik yang melakukan penjarinag calon pasangan dengan obyektif dan sesuai dengan kebutuhan rakyat dalam menentukan pempinan politik daerah, akan menarik minat rakyat daerah untuk berperan serta. 

E.        Asas Desentralisasi

Desentralisasi merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bertujuan untuk sharing power dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dekat dengan rakyatnya. Sementara itu, Cornelis Lay (2003) menyatakan bahwa dengan desentralisasi pengaturan politik dan pemerintahan yang stabil dapat dilakukan.[12] Dengan desentralisasi dapat diakomodasi sharing of power, sharing of revenue, dan penguatan lokalitas, selain pengakuan dan penghormatan terhadap identitas daerah. Berkaitan dengan sharing of power maka pemberian desentralisasi secara devolusi menjadi penting. Apalagi dalam era reformasi ini yang akan memunculkan pemilu lokal bagi elit ekesekutif secara langsung tentunya akan terjadi penguatan dalam sistem pemerintahan daerah.
Desentralisasi merupakan bentuk hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang pada umumnya memiliki dua bentuk yaitu: Debvolusi dan dekonsentrasi. Dalam ideografis Indonesia kita pernah mengenal asas tugas pembantuan atau medebewind sebagai bagian dari desentralisasi. Berdasarkan ranah politik pemerimtahan maka desentralisasi yang berkaitan dengan otonomi penyelengaraan pemerintahan di daerah adalah devolusi. Sementara dekonsentrasi masih merupakan kepanjangan tangan  kebijakan pusat di daerah.
Asas desentralisasi ini memberikan peluang bagi daerah untuk dapat mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri walaupun tetap dalam bingkai sistem negara kesatuan. Dengan asas ini pula secara garis besar rekrutmen, responsibilitas dan akuntabilitas politik dapat dilaksanakan dan bersifat final di pemerintahan daerah.
Berdasarkan asas desentralisasi hubungan rakyat dan pemerintahan daerah berada dalam koridor demokrasi daerah. Pelibatan pemerintahan daerah dalam mengurus kewenangannya merupakan keleleuasaan yang bertujuan untuk pengembangkan demokrasi daerah dan pembangunan daerah yang pada gilirannya mengarah pada kesejahteraan rakyat di wilayah kerja daerahnya.
Dalam perkembangannya asas desentralisasi yang berbentuk devolusi telah mengalami perubahan yang mendasar. Salah satu contoh yang sekatrang menjadi isu nasional adalah tentang pemilihan kepala daerah baik di pemda propinsi maupun pemda kabupaten dan kota. Berdasarkan Undang-undang no 5 tahun 1974 rekrutmen eksekutif daerah berada di legilslatif daerah dengan masih ada intervensi dari pemerintah pusat. Berdasarkan undang-undang no 22 tahun 1999, kepala daerah dipilih oleh legislatif daerah secara mandiri. Dan pada perkembangan terkhir berdasarkan undang-undang no 32 tahun 2004, pemilihan eksekutif daerah didasarkan pada demokrasi lokal partisipatif, dimana rakyat daerah yang bersangkutan melakukan pemilihan secara langsung. Sementara itu pelaksana atau penyelenggara pemilu yang berdasarkan dua undang-undang pemerintahan daerah terdahulu berada dalam legislatif daerah, untuk pemilu eksekutif daerah yang akan dilaksanakan pada tahun 2005 ini berada di Komisi Pemilihan Umum Daerah yang bertangung jawab pada legislatif daerah. Dalam hal ini terdapat lompatan besar dalam rekrutmen eksekutif daerah.
Semangat desentralisasi telah bergerak dari seputar lingkaran pemerintah pusat dan legislatif daerah ke arah rakyat daerah yang berdaulat. Tentunya lompatan ini harus diimbangi dengan format pelaksanaan yang jelas baik secara politik, hukum maupun administrasi negara. Kenapa demikian? Hal ini berkaitan dengan tingkat kerawanan dan tantangan yang begitu besar dalam melakukan pemilu eksekutif lokal secara langsung. Konflik yang akan muncul juga akan semakin kompleks dari pemilu presiden dan wakil presiden. Sehingga payung hukum, politik dan administrasi negara menjadi penting. Ada kegelisahan dalam memaknai desentralisasi secara tersendiri apabila pada tahun 2005 ini terjadi hal yang merugikan asas ini. Terdapat sekitar 224 pasangan eksekutif diraih yang akan dipilih langsung, tentunya perlu penanganan yang baik, sehingga tidak terjadi shifting dari major descentralisation ke arah major deconsentration atau bahkan memunculkan resentralisasi sebagai sisi ekstrim dari desentralisasi. 

F.         Kebijakan Publik

Pemilihan Kepala daerah dan wakil kepala daerah ini merupakan produk politik pemerintahan pusat dalam bentuk kebijakan publik. Membahas kebijakan publik secara langsung tentang produk politik pemilihan eksekutif daerah ini tidak akan pernah ditemukan. Kenapa demikian? Karena dalam proses pembuatan kebijakan publik di tingkat nasional pemilu sebagai produk politik berada pada undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang pemilu dan undang-undang no 23 tahun 2003 tentang pemilihan presiden. Sementara pemilihan kepala eksekutif daerah itu berada pada Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Memang benar menurut kajian kebijakan publik semua produk kebijakan yang sudah melalui tahapan-tahapan formal kebijakan yang berlaku, setelah menadapat penetapan dan dimuat dalam lembataran negara dan tambahan lembaran negara menjadi sah secara hukum positif untuk dilaksanakan. Namun demikian, dalam kerangka politik yang secara mendasar mengarah pada esensi demokrasi, hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang krusial. Seperti contohnya muncul pertanyaan tentang kemandirian penyelenggara pemilu, dan yang lainnya. Disamping itu berkaitan dengan sistem pemerintahan dalam format desentralisasi dan sentralisasi terdapat pertanyaan tentang hasil kebijakan publik yang kontradiktif terutama dalam pertanggungjawaban pelaksana pemilu dalam hal ini KPUD dengan  legislatif daerah. Terdapat kehawatiran lain berkaitan dengan sinyalemen intervensi pemerintah pusat melalui struktur lembaganya dalam prosedur pelaksanaan pilkada langsung ini.
Bila dilihat dari tahapan pembuatan kebijakan  publik di Indonesia, khususnya dalam pembuatan undang-udang no 32 tahun 2004, kita bisa melihat adanya ketergesaan dalam pembahasannya sehingga hasilnya banyak dipertanyakan. Salah satu pertanyaan mendasar adalah pembuatan rancangan undang-undang itu tertutup dan kurang melibtakan komponen masyarakat terkait.
Menurut Ibnu Tricahyo dari PP Otoda dalam Pembekalan anggota DPRD Kabupaten Malang memaparkan bahwa RUU perubahan undang-undang 22 tahun 1999 dengan undang-undang 25 tahun 1999, DPR baru melakukan usul melalui hak inisiatifnya kepada Presiden pada tanggal 9 pebruari 2004. Kemudian pada tahapan berikutnya Pemerintah mengajukan ke RUU yang diminta oleh DPR melalui hak inisiatifnya pada bulan mei 2004. Salah satu pokok pembahasan dari RUU pemerintahan daerh adalah berkaitan dengan pemilihan kepala daerah langsung berdasarkan amanat amandemen UUD 1945 bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis.
Tahapan berikutnya langsung terjadi proses formal tahapan pembuatan kebijakan publik di DPR dengan membentuk panitia khusus (pansus) dan juga dibentuk panitia kerja (panja). Ke dua panitia ini bekerja untuk membahas dua RUU perubahan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999. Pada bulan september 2004  ke dua RUU tersebut disetujui DPR dan pada bulan berikutnya, Oktober 2004 disahkan oleh Presiden.10 Tidak ada penyimpangan prosedur dalam tahapan internal pembuatan kebijakan publik, tetapi warna demokratis dalam pembuatan kebijakan dan singkatnya waktu pembahasan merupakan titik kelemahan dalam pembuatannya. Kita sudah mengetahui bahwa di akhir masa kerja DPR begitu banyak RUU yang masih perlu dituntaskan, dan dua RUU ini merupakan salah satu prioritas yang harus selesai sebelum habis masa kerja dewan.
Dalam kajian kebijakan Publik tahapan pembuatan rancangan baik oleh eksekutif maupun legislatif seharusnya melibatkan stakholder dalam kebijkan publik tersebut, namun kenyataannya hal ini jarang sekali dilakukan sehingga kelompok-kelompok masyarakat yang berkepentingan dengan kebijkan tersebut sangat sulit untuk mendapatkan akses informasi perkembangannya. Berkaitan dengan RUU perubahan UU No. 22 tahun 1999, dengan sangat terbatas rancangan yang berasal dari eksekutif, legislatif dan dari kalangan LSM bisa diakses. Kemudian ketika memasuki tahapan formal juga terjadi hal yang serupa. Sehingga sinyalemen Ibnu yang menganggap pembahasan kebijakan ini tidak rasional dan cenderung instan dapat dibenarkan.
Selain itu juga ketika pembahasan itu dilakukan Dewan Perwakilan Daerah sudah terbentuk sebagai hasil pemilu tahun 2004, tetapi mereka tidak dilibatkan di dalamnya padahal kebijkan publik tersebut menyangkut salah satu kewenanggannya.  Asosiasi pemerintah daerah maupuin eksekuit daerah juga tidak secara optimal diberikan akses, apalagi kelompok-kelompok lainnya dalam masyarakat yang sebenarnya perlu mengikuti tahapan-tahapan dalam pembahasan rancangan.
Memang benar secara formal tahapan-tahapan kebijakan publik sudah dilakukan secara prosedural, namun denmikian dengan waktu yang terbatas dan kurang melibatkan lembaga negara baru tersebut merupakan kelemahan tersendiri. Ada kecenderungan untuk menyelesaikan sekian banyak RUU dalam sisa masa kerja DPR pada waktu itu.

G.        Pemilihan Gubernur dan Letak Sistem Otonomi Daerah

Sistem pemerintahan daerah di Indonesia sepanjang waktu bergerak seperti pendulum, sekali bergerak ke kiri dan sekali lagi beralih ke kanan. Sekali mengarah ke sentralisasi, lain kali bertukar ke arah desentralisasi. Tidak pernah habis-habisnya. Akibatnya, sebagian besar waktu habis dalam perdebatan yang mengakibatkan pemborosantenaga, pikiran dan uang.
Setelah beberapa lama kita melaksanakan sistem desentralisasi, di mana kepala daerah termasuk gubernur dipilih langsung oleh rakyat, akhir-akhir ini timbul wacana, agar gubernur cukup dipilih oleh DPRD. Alasan yang dipakai, agar money politics dapat dibendung, dan mudah diawasi karena jumlah yang terlibat tidak banyak. Apakah benar  demikian? Persoalannya, ketika reformasi tahun 1998 dan 1999 diluncurkan, ide untuk menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada rakyat adalah juga didasarkan pada alasan yang sama. Yakni agar jangan terjadi lagi money politics yang mengakibatkan banyak terjadi korupsi berjamaah dalam DPRD.[13]
 Pengalaman menunjukkan, bahwa korupsi tidak berkurang karena sedikit jumlah orang yang terlibat. Dalam Era Orde Baru, sebelum sistem pemilihan kepala daerah dilakukan melalui pemilihan umum, yang paling sering terjadi adalah korupsi berjamaah melalui konsinyasi anggota DPRD di hotel-hotel mewah yang diikuti dengan ikrar bersama para anggota DPRD untuk memilih calon tertentu. Maka itu diharapkan agar dengan menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada rakyat banyak, konsinyasi itu akan dapat hilang. Kalaupun dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat masih terdapat money politics, yang menerima uang adalah rakyat banyak. Mudah dipahami, menyuap orang banyak jauh lebih sulit daripada menyuap 50-100 orang anggota DPRD.
Sistem pemilihan langsung kepala daerah adalah cara yang terbaik untuk menghindarkan dan mengurangi potensi korupsi. Sistem pemilihan langsung merupakan perwujudan sistem  demokrasi yang diejawantahkan melalui sistem otonomi daerah. Mengembalikan wewenang pemilihan gubernur atau kepala daerah kepada DPRD adalah suatu kemunduran dan menciderai sistem demokrasi yang telah dibangun
              Persoalan yang sekarang terdapat didaerah-daerah sebenarnya bukan pada sistem pemilihan kepala daerah oleh rakyat, tetapi pada letak otonomi daerah. Seperti apa yang kami uraikan dalam tulisan 'Menjawab Sebuah Tantangan  Masa Depan Bangsa' ( Jurnal NEGARAWAN, Edisi NO 17/ Agustus 2010, hal 161 - 174 ) letak otonomi daerah seharusnya bukan di tingkat kabupaten / kota, tetapi di tingkat provinsi. Ini disebabkan karena pelaksanaan sistem otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota mempunyai berbagai kelemahan  dibandingkan dengan sistem otonomi daerah di tingkat provinsi. Kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:

1.                  Sumberdaya aparatur ditingkat kabupaten/kota relatif lebih lemah dibandingkan dengan mereka yang terdapat pada tingkat ibukota provinsi.
2.                  Kematangan rakyat dalam politik dan wawasan nasional di tingkat kabupaten  relatif lebih rendah dibandingkan dengan keadaan yang ada di tingkat provinsi.
3.                  Skala ekonomi yang mungkin dikembangkan di tingkat kabupaten/kota lebih kecil dibandingkan dengan yang dapat dikembangkan dalam wilayah provinsi
4.                  Koordinasi gubernur terhadap bupati/walikota juga menjadi sulit karena gubernur tidak memiliki kewenangan langsung terhdap bupati/walikota.
5.                  Pemilihan gubernur oleh DPRD menurunkan legitimasi gubernur sebagai kepala daerah  dalam melakukan koordinasi dan supervisi terhadap pejabat dari berbagai instansi yang ada dalam wilayah atau yurisdiksi administrasi provinsi tersebut.[14]

Sebab itu sewajarnyalah untuk segera mempertimbangkan kembali letak titik berat otonomi daerah di Indonesia. Yakni dengan menempatkan sistem otonomi daerah hanya di tingkat provinsi dan menjadikan kabupaten/kota sebagai daerah dekonsentrasi di bawah koordinasi gubernur/kepala daerah, di mana bupati/walikota dipilih oleh DPRD.


H.        Potensi Konflik dalam Pilkada Langsung

Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan politik.
Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat penting bagi demokrasi.Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik.
Jika tidak ada aral melintang, bangsa Indonesia akan maju selangkah lagi dalam kehidupan demokrasinya. Wujudnya berupa pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang dimulai pertengahan tahun 2005. Ratusan kepala daerah telah habis masa jabatannya tahun ini. Dipastikan, Pilkada langsung yang pertama kali dilaksanakan di Tanah Air ini akan disambut gegap gempita.
Apa pun, pelaksanaan Pilkada langsung mesti berjalan sukses dalam arti demokratis, aman, dan damai, sebagaimana Pemilihan Presiden 2004. Dalam hal ini, kesuksesan Pilkada langsung tidak hanya dilihat dari perspektif kemajuan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi juga bagian inheren agenda reformasi politik, sebagaimana menjadi tuntutan mahasiswa saat meruntuhkan rezim Orde Baru.
Namun di balik eforia menyongsong Pilkada langsung dewasa ini, ada masalah lain yang dapat membuat agenda politik lokal ini paradoks, yakni potensi konflik yang dikandungnya. Hal ini telah diingatkan banyak kalangan sejak awal. Potensi konflik jelas menjadi salah satu pekerjaan rumah seluruh perencana dan penyelenggara Pilkada langsung. Kalau tidak diantisipasi baik sejak dini, Pilkada nanti bakal menimbulkan konflik politik yang tidak hanya merugikan kepentingan rakyat, tetapi juga merusak benih-benih demokrasi di tingkat lokal.
Jika diidentifikasi, ada beberapa masalah di sekitar Pilkada langsung yang bisa memicu konflik politik di daerah.
Pertama, terdapatnya peraturan Pilkada langsung yang menutup munculnya calon independen. Presedennya sudah dimunculkan pada Pilpres (Pemilu Presiden) lalu yang tak memperkenankan calon independen maju sebagai capres (capres) atau cawapres (calon wakil presiden). Salah satu kelemahan UU 32/2004 menyangkut Pilkada adalah pemberian otoritas penuh kepada partai politik sebagai satu-satunya penjual tiket calon kepala daerah. Hal ini tentu bisa memicu ketidakpuasan, karena pada kenyataannya di banyak daerah terdapat tokoh-tokoh non-partai yang disukai masyarakat.
Kedua, kuatnya hubungan emosional antara kandidat dengan konstituen. Hubungan emosional antara konstituen dengan kepala daerah jauh lebih dekat dibandingkan dengan kepala negara atau pemimpin di level nasional. Hal itu bukan hanya disebabkan kedekatan fisik, tetapi juga sosial, budaya, geografis dan sebagainya. Jika tidak ada manajemen konflik yang baik, terutama terhadap bolong-bolong yang terdapat pada aturan Pilkada, maka ketidakpuasan konstituen terhadap konstituen dan kandidat lain atau proses pemilihan kepala daerah bisa memicu lahirnya konflik di daerah. Dengan kata lain, sensitivitas konstituen dalam pilkada sangat tinggi.
Ketiga, UU 32/2004, seperti disebutkan di muka, memberi peluang dan dominasi kepada partai dalam proses pencalonan. Ada kemungkinan partai-partai besar terobsesi untuk hanya mencalonkan pasangan dari partai sendiri tanpa memperhatikan polarisasi politik yang ada. Padahal seharusnya, proses pencalonan kepala daerah harus mempertimbangkan kekuatan-kekuatan politik dan sosial yang terdapat di daerah bersangkutan. Kita ambil contoh proses pencalonan kepala daerah di Maluku, seharusnya tidak hanya mengakomodasi kekuatan-kekuatan politik yang ada, tetapi juga dua komunitas agama yakni Kristen dan Islam. Jika calon kepala daerahnya berasal dari komunitas Kristen, maka wakil kepala daerah mestinya dari kalangan Islam. Begitu pula sebaliknya. Akomodasi politik yang menjamin stabilitas pemerintahan lokal harus benar-benar tercermin dalam proses pencalonan kepala daerah.
Keempat, kerancuan peran DPRD dalam Pilkada juga dapat memicu konflik. Pilkada memang sepenuhnya dilaksanakan oleh KPU Daerah, tetapi pertanggungjawabannya harus disampaikan kepada DPRD. Dalam hal ini, kerja KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) berpotensi diintervensi oleh partai politik yang mempunyai kekuatan di DPRD. Sebab, sejalan dengan kewenangan yang besar dalam proses-proses politik lokal, partai berpotensi membajak fungsi KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak menguntungkannya. (Supriyanto, 2004).
Kerancuan peran DPRD juga terlihat dalam pasal 82 UU 32/2004 yang mengatakan bahwa pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti menjanjikan atau memberikan uang dan/atau materi untuk mempengaruhi pemilih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan pasangan calon oleh DPRD. Ketentuan ini terkesan paradoks. Bagaimana mungkin lembaga legislatif yang notabene wakil dari partai-partai memainkan peran pelaksana pemilu. Mestinya pemberian sanksi dilakukan oleh KPUD sebagai penyelenggara Pilkada. Peran besar dari legislatif lokal ini jelas menjadi faktor distortif bagi Pilkada langsung.
Kelima, potensi konflik pasca Pilkada langsung juga tak kalah krusialnya. Jika potensi-potensi konflik di atas tak bisa diantisipasi dan dimenej dengan baik, maka bakal memicu konflik pasca pelaksanaan Pilkada. Konflik pasca Pilkada juga dimungkinkan, jika terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Aturan yang termaktub dalam UU Pilkadal seolah membuka peluang terjadinya persaingan politik uang di antara para kontestan. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan kontestan yang "miskin".
Potensi konflik dalam Pilkada langsung jelas sangat menganggu proses penguatan demokrasi, tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional. Potensi konflik itu bukan karena ketidaksiapan masyarakat, tetapi lantaran tidak utuhnya penerapan sistem demokrasi lokal, terutama yang disebabkan kelemahan aturan main. Jika potensi konflik dalam Pilkada langsung tidak dieliminir, bukan tidak mungkin akan berlangsung pelambatan proses demokrasi di daerah.
Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat penting bagi demokrasi.
Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks Pilkada langsung adalah meminimalisir potensi-potensi konflik, baik yang terkandung dalam aturan main seperti UU 32/2004 dan PP No 6/2005 tentang Pilkada Langsung, maupun kendala sosial yang masih membelit. Agenda ini mesti sejalan dengan pembangunan bertahap budaya politik demokratis. Ini jelas bukan pandangan "under-estimated" terhadap perilaku masyarakat politik kita, tetapi lebih disebabkan sistem yang kini terbangun lewat berbagai aturan main masih berpotensi memicu munculnya budaya anti-demokrasi.
Pilkada langsung merupakan salah satu kemajuan terbesar dalam reformasi politik di Indonesia. Pilkada nanti merupakan ikhtiar rakyat Indonesia terhadap demokrasi langsung setelah pilpres 2004.[15] Tetapi di balik itu, juga harus diwaspadai potensi-potensi yang bisa menyebabkan agenda politik lokal berbalik arah, hanya karena ketidakbecusan dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya.

I.          Meninjau Kembali “Eksperimentasi” Pilkada Langsung Di Indonesia

Masyarakat dalam waktu dekat ini tampaknya akan segera menyaksikan pelaksanaan pilkada langsung di sekitar 226 daerah (kabupaten/kota/provinsi) di seluruh Indonesia. Di era ‘kapitalisasi pilkada’ saat ini, figur-figur berduit atau yang dipasoki dana oleh pihak lain, peluang mereka untuk memenangi pilkada langsung cenderung besar dengan cara money politics. Masyarakat pemilih lapis bawah yang jumlahnya cukup besar namun pendapatan mereka relatif kecil, kelompok ini cukup rentan sekaligus cukup ’permisif’ terhadap praktek-praktek politik uang yang dilakukan oleh para kandidat dan orang-orangnya. Pilkada langsung yang ’mahal’ ini menurut penulis bukanlah demokrasi ideal yang kita impikan bersama.
Pilkada langsung dengan cara politik uang sebenarnya tidak lebih dari sebuah ‘demokrasi teatrikal’, pseudo demokrasi atau facade democracy yang tidak banyak manfaatnya karena tidak berkualitas dan tidak banyak bermanfaat untuk perbaikan bangsa ke depan. Oleh karena itulah Pemerintah Pusat (Presiden dan DPR) dan KPU perlu segera melakukan evaluasi dan moratorium pilkada langsung. Bukannya justru memaksakan kehendak untuk ”kejar tayang” pilkada di 226 daerah tahun ini hanya karena untuk membangun citra kepada dunia betapa demokratisnya sistem politik negara kita. Tulisan ini merupakan refleksi singkat terhadap demokrasi era reformasi dan eksperimentasi pilkada langsung di Indonesia.
            Dalam literatur-literatur ilmu politik sudah seringkali dikemukakan oleh para ahli bahwa demokrasi bukanlah merupakan sistem politik dan pemerintahan yang sempurna. Meskipun demikian demokrasi menurut para pakar ilmu politik adalah sistem pemerintahan yang terbaik dibandingkan sistem-sistem yang lain (monarki, aristokrasi, otokrasi, plutokrasi, gerontokrasi,dll.). Artinya, sistem demokrasi tidak tanpa cacat. Implikasinya, pemerintah negara manapun yang menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya, harus mampu mengantisipasi dan meminimalkan ekses-ekses negatif dari demokrasi.
            Sedangkan demokrasi itu sendiri mempunyai dua bentuk, demokrasi perwakilan (demokrasi tidak langsung) dan demokrasi langsung. Pilkada langsung di Indonesia merupakan perubahan radikal sebagai anti-tesis terhadap pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD semasa Orde Baru yang berbau ’praktek dagang sapi’ yang kotor
            Masih dalam ingatan penulis bahwa UU No.32 Tahun 2004 yang di dalamnya antara lain mengatur mengenai pilkada langsung, ”dilahirkan” di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Pilkada langsung di Indonesia sebagai bagian dari reformasi politik dan demokratisasi, mulai dilaksanakan pada tahun 2005. Menurut salah satu sumber, dari pilkada langsung tahun 2005 hingga 2008, Partai Golkar memenangi 138 pilkada, PDIP 104 pilkada dan PKS memenangi 54 pilkada (Iwan K.Hamdan, 2008:34). Jumlah uang negara yang dihabiskan untuk pilkada langsung saat itu adalah sekitar enam triliun rupiah. Siapakah yang sebenarnya diuntungkan oleh pilkada langsung, parpol atau rakyat ? Pertanyaan tersebut perlu dikemukakan karena pilkada langsung sering dihubung-hubungkan dengan demokrasi. Sedangkan demokrasi itu sendiri mempunyai banyak ’sisi’, yang tidak semuanya bersisi terang seperti terjadinya tirani mayoritas. Kalau mayoritas itu orang baik, mungkin tidak bermasalah. Tapi kalau yang mayoritas itu culas, jahat, atau bodoh, maka yang akan terjadi adalah ’bencana’ di berbagai bidang, politik, hukum, ekonomi, budaya, integrasi bangsa, dll.
            Mengapa pilkada langsung perlu dilaksanakan di Indonesia menurut salah satu pakar yang terlibat dalam penggodogan konsep pilkada langsung dalam UU No.32 Tahun 2004 adalah karena alasan ‘kompatibilitas” atau kesesuaian dengan pilpres langsung. Maksud sumber tersebut, kalau presidennya dipilih melalui pilpres langsung, maka gubernur, bupati dan walikota juga harus dipilih secara langsung. Alasan lainnya adalah karena buruknya praktek-praktek pemilihan kepala daerah secara perwakilan melalui DPRD di masa Soeharto.
            Sekarang telah terlihat bahwa pilkada langsung menghasilkan banyak ekses negatif. Maraknya politik uang dalam pilkada langsung, misalnya, merupakan perluasan dari politik uang yang tadinya terbatas hanya di kalangan anggota DPRD, kini meluas terhadap/di kalangan warga masyarakat pemilih, khususnya masyarakat miskin. Premanisme pilkada langsung di masa reformasi lebih parah dan lebih canggih serta melibatkan lebih banyak aktor pelaku dibanding dalam pilkada dengan sistem perwakilan pada era Orde Baru. Yang lebih buruk dari itu adalah terjadinya konflik-konflik elit lokal akibat pilkada langsung yang merambat ke masyarakat sehingga acapkali terjadi kekerasan. Masalah ini jarang sekali terjadi dalam sistem pilkada melalui DPRD di era Orde Baru.
            Namun yang lebih mengecewakan dari semua ekses negatif tersebut adalah kenyataan bahwa pilkada langsung ternyata tidak secara otomatis menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang berkualitas, yaitu yang penuh dengan keteladanan dalam keseharian hidupnya, cakap dalam mengelola pemerintahan daerah dan telah terbukti hasil-hasil karya mereka. Seperti telah banyak kita ketahui bahwa pemenang pilkada langsung umumnya adalah figur-figur pengusaha atau orang-orang yang didukung uang dan parpol-parpol pengusung. Parpol-parpol pengusung pun mempunyai ’harga’ yang harus ’dibayar’ oleh kandidat. Kenapa uang begitu penting di sini adalah karena pilkada langsung telah menjadi industri dan ’komoditas’ yang penuh dengan hitungan-hitungan transaksi ekonomi politik. Visi, misi dan program kandidat yang seharusnya menjadi pilihan utama para ’rational voters’, akhirnya hanya menjadi ’lips service’ belaka sekedar untuk memenuhi persyaratan prosedural formal.
            Kapitalisasi pilkada tersebut merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi untuk membangun demokrasi substantif di Indonesia dan sudah sepantasnya segera ’diluruskan’ kembali. Kegagalan pemerintah, KPU dan Bawaslu serta aparat penegak hukum untuk memastikan pilkada langsung berjalan LUBER, JURDIL dan tanpa money politics, akan melahirkan penyakit apa yang saya sebut sebagai ’ stress demokrasi’ (democrazy?). Demokrasi yang stress pastilah bukan demokrasi yang dikehendaki reformasi dan dapat menambah daftar panjang permasalahan bangsa kita. Konflik dan kekerasan yang terjadi dalam pilkada langsung mungkin saja terjadi akibat dari model demokrasi yang stress itu.
            Menurut Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistiyanto dari National University of Singapore, ada dua pandangan yang berbeda tentang esensi pemilu (termasuk di sini pilkada langsung) dan relasinya dengan sistem politik. Yang pertama adalah bahwa pemilu merupakan institusi yang esensial pada jantung sistem demokrasi, pemilu melejitimasi kepemimpinan yang dipilih oleh rakyat yang menyebabkan pemimpin bertanggung jawab kepada rakyat. Pandangan kedua menempatkan pemilu semata-mata hanya sebagai permainan atau pertunjukan.
            Sedangkan demokrasi bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu demokrasi pura-pura
(facade/pseudo democracy), demokrasi elektoral, dan demokrasi penuh atau demokrasi liberal. Demokrasi jenis pertama adalah demokrasi yang dikontrol oleh militer meskipun dilakukan pemilu yang reguler. Demokrasi jenis kedua adalah demokrasi yang berdasarkan hukum dan aturan main serta sangat mementingkan proses-proses hukum. Demokrasi jenis ketiga adalah demokrasi prosedural plus penghargaan kepada hak-hak minoritas (Maribeth Erb, Priyambudi Sulistiyanto, 2009:5-9). Berdasarkan pendapat tersebut maka penulis mengkategorisasikan praktek pilkada langsung di Indonesia saat ini masih dalam tahap ’demokrasi teatrikal’. Hal ini karena substansi demokrasi elektoral seperti halnya penghormatan terhadap asas luber, jurdil dan law enforcerment bagi para pelanggar aturan main pilkada langsung, masih sangat minim.
            Prospek demokratisasi dan konsolidasi demokrasi di negara kita tampaknya juga akan kurang begitu menggembirakan dalam waktu dekat ini. Perkiraan tersebut berdasarkan teori bahwa kemajuan demokratisasi dan konsolidasi demokrasi di negara-negara dunia ketiga umumnya terhambat oleh delapan faktor, yaitu : (1) dominasi eksekutif yang berlebihan; 2) sistem sosial politik neo-patrimonial; 3) korupsi serius di tingkat negara; 4) parpol-parpol yang lemah dan tidak stabil; 5) pelemahan atau pengkooptasian civil society; 6) pembelahan serius etnis dan agama; 7) kemiskinan yang merajalela; 8) iklim politik internasional yang tidak kondusif (Maribeth Erb, Priyambudi Sulistiyanto, 2009:7). Sebagian besar dari delapan faktor tersebut ada di negara kita saat ini. Oleh karena reformasi politik di Indonesia tidak boleh salah arah, maka diperlukan upaya bersama semua pihak (pemerintah, KPU, Bawaslu, aparat penegak hukum bersama-sama parpol-parpol dan civil society) untuk mengembalikan pilkada langsung sebagai instrumen demokrasi elektoral, bukan demokrasi teatrikal.
            Atas dasar uraian di muka maka penulis mengusulkan kepada Pemerintah (Presiden dan DPR) dan KPU untuk melakukan moratorium (jeda) pilkada langsung. Moratorium memungkinkan adanya evaluasi yang kredibel yang dilakukan oleh Pemerintah didukung tim ahli independen terhadap pilkada langsung selama lima tahun terakhir ini. Di samping itu pilkada secara tidak langsung melalui DPRD mungkin perlu dikaji kembali untuk salah satu alternatif pengganti sistem pilkada langsung. Pilkada melalui perwakilan DPRD menurut saya merupakan pilihan rasional di tengah-tengah situasi yang ”berisik’ akibat dari ’politik sebagai panglima’ yang mengakibatkan terbengkelainya pembangunan ekonomi sekarang ini. Bukankan di era reformasi dan demokratisasi saat ini DPRD sudah lebih mudah dikontrol oleh publik karena masyarakat sudah bebas berorganisasi dan berekspresi, media massa yang kritis yang dapat ikut mengontrol DPRD, didukung kemajuan teknologi informasi (internet, facebook, dll.) yang semakin memasyarakat. Akhirnya saya berpendapat, pilpres langsung YES!, pilkada langsung NO!.
            Dengan cara itu maka triliunan rupiah uang negara yang tadinya disiapkan Pemerintah untuk pilkada langsung, akan dapat diselamatkan untuk upaya-upaya Pemerintah menanggulangi kemiskinan dan pengangguran yang saat ini cukup parah di Indonesia. Oleh karena itulah kelompok-kelompok civil society di seluruh Indonesia perlu ’bangun’ kembali dan bersama-sama Pemerintah untuk meluruskan kembali arah dan tujuan reformasi di segala bidang, termasuk dengan mengkritisi dan mengawal pilkada, entah pilkada langsung atau perwakilan.[16]
            Adanya demokrasi ditingkat lokal sebagai akibat dari proses demokrasi regional yang dituntut oleh perkembangan desentralisasi. Demokrasi lokal memuat hal yang mendasar yaitu keikutsertaan rakyat serta kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi lokal terwujud salah satunya dengan adanya Pilkada langsung dengan kata lain proses ini mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Hal ini senada dengan pelaksanaan Pilkada langsung yang diadakan di Jawa Timur.
Pelaksanaan Pilkada Jawa Timur periode 2008-2013 yang pada putaran pertama diikuti oleh lima calon pasangan gubernur dan wakil gubernur. Pada prosesnya telah sesuai dengan prinsip dasar demokrasi yaitu prinsip keterwakilan rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan kelima calon gubernur dan wakil gubernur tersebut berasal dari unsur masyarakat Jawa Timur. Sedangkan partisipasi masyarakat sebagai pemilih berjumlah 29.061.718 Jiwa. Jumlah tersebut menandakan tingkat antusiasme masyarakat Jawa Timur dalam proses demokrasi. Pilkada langsung putaran pertama ini, dari kelima calon tersebut tidak ada yang melebihi batas ambang kemenangan 30% maka diadakan Pilkada putaran kedua yang diikuti oleh dua calon yang memperoleh suara terbanyak yaitu pasangan Khofifah-Mudjiono dan Soekarwo-Syaifullah Jusuf.
Pada putaran kedua Pilkada Jawa Timur dimenangkan oleh pasangan Soekarwo dan Syaefullah Jusuf dengan selisih 0,40% dari total suara. Terjadi permasalahan disini, pasangan Khofifah dan Mudjiono menolak menandatangani hasil dari Pilkada pada putaran kedua karena menilai terdapat banyak kecurangan yang terjadi didalamnya kemudian pasangan tersebut melaporkan kecurangan yang terjadi kepada Mahkamah Konstitusi yaitu lembaga yang berhak menangani sengketa dalam Pemilu. Oleh Mahkamah Konstitusi diputuskan bahwa harus dilaksanakan Pilkada ulang di dua Kabupaten yaitu Bangkalan dan Sampang, serta penghitungan ulang di Kabupaten Pamekasan. Proses ini merupakan sejarah bagi demokratisasi lokal di Indonesia dimana pengakuan atas hak maupun tuntutan benar-benar tidak diabaikan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif, dengan ini prinsip control dalam negara demokrasi telah terpenuhi.
Pilkada merupakan institusi demokrasi lokal yang penting karena dengan Pilkada, Kepala Daerah yang akan memimpin daerah dalam mencapai tujuan desentralisasi akan terpilih melalui tangan-tangan masyarakat lokal secara langsung. Sehingga untuk Pilkada DI Jawa Timur ini, layaklah disebut sebagai pilkada yang demokratis walaupun masih banyak kelemahan, kecurangan, dan kekurangan. Kepala Daerah terpilih (Soekarwo dan Syaifullah Yusuf ) inilah yang nantinya akan menjadi pemimpin dalam pembangunan di daerah termasuk di dalamnya penguatan demokrasi lokal, penyediaan pendidikan dasar dan layanan kesehatan, perbaikan kesejahteraan rakyat, penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik dan lain sebagainya.
            Nada pesimis dan pandangan negatif dari berbagai kalangan tentang pelaksanaan pilkada di Jawa Timur tidak meniadakan arti pentingnya institusi ini dalam konsolidasi demokrasi lokal di era desentralisasi. Bagi masyarakat lokal khususnya Jawa Timur yang terpenting adalah memilih Kepala Daerah yang dinilai mampu untuk memimpin daerah, dengan demikian sedikit banyak akan semakin memupuk dan memperkuat demokrasi lokal di Indonesia yang telah beranjak dewasa. Sekali lagi walaupun masih terjadi banyak kekurangan baik itu permasalahan kelembagaan, permasalahan dalam tahapan persiapan, maupun permasalahan dalam tahapan pelaksanaan.








BAB III
PENUTUP

 Perkembangan, otonomi daerah dan demokrasi lokal dalam pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan peluang sekaligus tantangan yang perlu pembuktian secara nyata. Bingkai pilkada langsung ini tentunya harus diletakkana dalam asa pemerintahan desentralisasi dalam koridor sistem negara kesatuan. Hubungan state and society dalam pemerintahan daerah di era refromasi ini merupakan tantangan dalam kehidupan pemerintahan modern Indonesia. Penyelenggaraan pilkada dengan kebijakan publik yang berlandaskan demokrasi yang melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor secara langsung ataupun tidak langsung akan menghasilkan  pemilu yang sesuai dengan tujuannya penyerahan kedaulatan secara sukarela.
  Diharapkan perangkat kebijakan publik yang mendukung dan jelas, tidak adanya benturan antar kebijakan dan badan penyelenggara merupakan salaha satu kunci sukses pilkada langsung. Setiap produk kebijakan publik yang dihasilkan lembaga politik yang dialakukan secara demokratis pun tidak akan terhindar dari pro dan kontar dalam lingkungan   internal dan eksternal kebijakan tersebut. Laswell pernah menyatakan bahwa tidak ada satu kebijakan pun yang dapat memeberiak kepuasan bagi seluruh target kebijakan tersebut.  Apalagi kalau produk kebijakan itu mengurangi kadar demokratis dalam pembuatan dan pelaksanaannya.
  Akhirnya, semoga kebijakan publik yang sudah diputuskan tentang pemerintahan daerah yang di dalamnya mengatur tentang pilkada langsung sebagai amanat dari amandemen UUD 1945 dapat dilaksanakan dan diinterpretasikan dengan baik sehingga tidak mencederai niatnya dalam mengusung demokrasi lokal dalam format desentralisasi bentuk devolusi--otonomi daerah. Pilkada langsung ini diharapkan tidak hanya an old one in a new bottle ,tetapi menjadi tonggak perkembangan reformasi politik lokal di Indonesia.


[1] Lay, Cornelis,2003, “Otnomi Daerah dan Ke-Indonesiaan” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.), Kompleksitas Persoalan Otonomi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hlm. 217

[2] Ibid hal 218
[3] Ibid. hlm. 220
[4] Sinaga, Kastorius, 2003, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Kota dan Kabupaten: Beberapa catatan Awal, dalam Abdul Gaffar Karim (ed.), Kompleksitas Persoalan Otonomi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.hlm. 57-58

[5] Ibid. hlm. 60
[6] Budiman, Arief, 1986, Teori Negara. Kekuasaan dan Ideologi, PT Gramedia, Jakarta  hlm. 243
[7] Budiardjo, Miriam, 1994, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan                  Demokrasi Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hlm. 176-178

[8] Riyadmaji, Dodi, 2003, Mengkritisi Pemikiran Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, dalam Abdul Gaffar Karim (ed.),    Kompleksitas Persoalan Otonomi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.hlm.98
[9] Sinaga, Kastorius, 2003, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Kota dan Kabupaten: Beberapa catatan Awal, dalam Abdul Gaffar Karim (ed.), Kompleksitas Persoalan Otonomi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.hlm.45
[10] Faturohman, Deden dan Wawan Sobari, 2002, Pengantar Ilmu Politik, UMM Press, Malang. Hlm. 132.
[11] Sjafii, Inu Kencana, 1994, Pengantar Ilmu Pemerintahan, CV. Mandar Madju, Bandung.hlm.77

[12] Tim Pustaka Kendi, 2004, Desentralisasi dalam Prakrtek, tejemahan dari Henry Maddick,1961, Democracy,     Decentralisation and Development.hlm.86
[13] Utomo, Tri Widodo W.,2004, Pilkada Langsung dalam Kerangka Reformasi Birokrasi: Beberapa Catatan Kritis, dalam Inovasi Online, vol.2/XVI/Nov.2004. hlm. 198


[14] Opcit. 90
[15] Opcit. Hlm. 57
[16] Sumber: Koran Jurnal Nasional 23 Februari 2010